Minggu, 24 Januari 2016

Kenapa Kita Sibuk "Mencari" tidak "Menjadi"?


Minggu lalu saya mendengar cerita dari teman, dan dia menanyakan pendapat saya tentang realita sekarang ini khususnya yang sedang dialami pemuda-pemudi yang seusia saya ini lah...ahahahaa. “kenapa ya, susah sekali mencari pasangan yang sesuai dengan keinginan kita?” Pertanyaan pertama yang teman saya tanyakan, lalu saya menjawab sekaligus bertanya balik kepadanya, “memangnya pengen pasangan yang seperti yang kayak gimana sih?”, dia menjawab dengan yakin, “ya, sebagai Lelaki pasti pengen punya pasangan yang cantik, baik, sholehah, pengertian, dan banyak lagilah, tapi sulit banget kayaknya, coba liat sekarang kelakuan para perempuan sekarang bikin banyak ngucapin Istigfarr”. Lalu saya pun menjawabnya kembali, “sulit? Pasti sulit kalau kita mencarinya ke tempat-tempat hiburan kalau cantik pasti dapat deh tapi baiknya, sholehahnya, pengertiannya mungkin akan sulit, tapi alangkah lebih baik instropeksi diri dulu sebelum mencari pasangan yang seperti kita inginkan, apakah diri kita sudah seperti itu belum? Kalau kita merasa belum baik kelakuan kita banyak melakukan keburukan jangan harap pengen punya pasangan yang seperti itu, bukankah gitu bro?”, agak lama teman saya menjawanya lalu dia berkata lagi, “iya juga ya, diri kita sendiri dulu yang harus jadi baik, pasti pasangan kita juga akan yang baik. Yuk kita perbaiki diri dari sekarang”.
Ketika percakapan dengan teman saya itu, saya jadi sedikit berpikir dan berinstropeksi diri sendiri juga, mungkin saya sendiri termasuk orang mencari dan mendambakan seperti yang teman saya inginkan atau mungkin hampir seluruh laki-laki normal pasti pengen punya pasangan perempuan seperti itu. Lalu teringat kembali satu kalimat yang teman saya ucapkan, “diri kita sendiri dulu yang harus jadi baik, pasti pasangan kita juga akan yang baik. Yuk kita perbaiki diri dari sekarang”. Ya, kalimat ini yang membuat saya menjadi kembali tergugah, kalau kita ingin yang baik maka diri kita juga harus baik, kalau diri kita masih buruk maka jangan harapkan mendapatkan yang baik. Seperti dalam surat An Nur ayat 26 yang artinya : “wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik”.

Sebuah janji Allah yang harus kita yakini, yang harus kita ingat juga bahwa Jodoh atau pasangan merupakan salah satu takdir dari Allah SWT selain rezeki dan kematian. Kita harus yakin sebelum kita dilahirkan ke muka bumi ini Allah telah menentukan dengan siapa kita berjodoh yang kita lakukan hanya ikhtiar dengan maksimal dan berdoa hasilnya serahkan pada Allah karena itu merupakan hak Allah sepenuhnya.
“Seperti apa sih pasangan yang kamu inginkan?”, ketika pertanyaaan dilontarkan baik kepada wanita maupun laki-laki hampir semua jawabannya pasti pengen yang baik, sholeh/sholehah, pengertian, pintar, kaya, dan mungkin masih banyak lagi sesuai kriteria yang diinginkan, memang sah-sah saja kita menginginkan pasangan yang seperti itu, siapa yang tidak mempunyai wanita yang baik dan sholehah seluruh laki-laki pun pasti menginngikan pasangan yang seperti ini, sebaliknya juga untuk wanita pasti menginginkan seorang pasangan yang baik, sholeh, tanggung jawab dan menjadi imam yang baik untuk keluarganya kelak.
Untuk mencari wanita atau lelaki yang seperti itu di kehidupan masa sekarang mungkin bagaikan mencari jarum dalam jerami, sangat sulit hanya orang-orang “spesial” yang mendaptkannya. Ya, sulit memang mencari pasangan seperti yang kita inginkan. Jadi pertanyaan, bagaimana kita mencarinya?. Kalau menurut kita mencari pasangan yang seperti kritreria yang diinginkan sangat sulit, kenapa kita tidak merubah kata “mencari” itu jadi “menjadi”?, alangkah lebih baik kita menjadi jarumnya daripada jeraminya bukan?
Mungkin pernyataan lebih pasnya, kita terlalu sibuk “mencari” sehingga lupa “menjadi”. Ya, kita terlalu sibuk menentukan kriteria pasangan yang kita inginkan seperti pengen yang baik, yang kaya, yang cantik untuk laki-laki, yang ganteng untuk perempuan, yang bla....bla....bla dan masih banyak lagi kriteria yang lainnya sehingga kita lupa bahwa diri sendirinya juga tidak seperti kriteria seperti itu. Ingat, yang menentukan jodoh kita tetap sepenuhnya hak Allah, kita hanya punya keinginan dan rencana tetapi hasilnya tetap semuanya Allah yang menentukan. Kita tidak tau kapan Allah mempertemukan dengan pasangan atau jodoh kita tapi harus kita yakini bahwa rencana Allah itu lebih baik untuk kita, Allah lebih tau apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan.
So, tugas kita sekarang perbaiki diri saja dulu sebaik mungkin, yang misalkan sholat kita masih di akhir waktu perbaiki jadi di awal waktu, yang sunnah-sunnah jarang dilakukan lebih sering melaksanakannya, yang sedekahnya sedikit coba lebih besar, yang sedikit sombong coba lebih rendah hati, yang menjarang menolong orang lain dari sekarang harus lebih sering menolong dan mungkin masih banyak lagi perilaku-perilaku yang harus kita perbaiki baik itu kepada Allah maupun kepada manusianya.
Percayalah, ketika sedang memperbaiki diri menjadi lebih baik maka Allah sedang memperbaiki juga pasangan atau jodoh kita. Tetap istiqomah dalam jalan-NYA, terus perbaiki diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Semoga kita tetap diberikan kesabaran dan keikhlasan dalam menunggu hal yang terbaik dari Allah SWT. Aamiin Ya Rabball alamiin..

Semoga ini menjadi renungan untuk kita semua.....
“jangan terlalu sibuk “mencari” sehingga kita lupa “menjadi”.


Kamis, 21 Januari 2016

Sulitkah Kita Belajar IKHLAS?


Aku selalu bersamanya ketika dia mengingat-KU! ( HR. Muslim )

Akhir-akhir ini banyak sekali pemuda-pemudi yang patah hati atau istilah sekarangnya galau, baper dan mungkin masih banyak lagi istilah-istilah yang lainnya Hahaha. Mendengar kata galau saya jadi ingat teman saya pernah cerita pada saya.

Teman (T) : “A, kalau cara mengikhlaskan bagamana menurut kamu”?
Saya (S) : “Ya, Belajar”.
T : “ belajarnya sulit kakaynya mah a suka sedih terus hmmm”.
S : “jika kita merasa punya Allah , maka jangan menangis dan bersedih karena masalah dunia.
Allah tau itu sulit, Allah tau itu berat tapi kita juga harus tau bahwa Allah tidak akan menempatkan kita ke dalam situasi yang tidak bisa kita hadapi, maka dari itu kita harus belajar”.
T : “iya sih A bener,Allah ga akan ngasih sesuatu hal diluar batas manusiany, iya kuat sih a, sabar a, tapi sulit a masih suka kepikiran dalam pelaksanaannya untuk ikhlas”.
S : “sulit?? Iya maka dari kesulitan itu kita harus belajar, tuh kan yang belajar ikhlas aja masih suka kepikiran, apalagi kalo kita ga belajar ikhlas. Libatkan Allah dari setiap kejadian yang kita alami mau sedih, bahagia, kecewa, menangis, semua itu karena Allah dan untuk Allah.

Karena cerita dari teman ini saya menjadi lebih berpikir lagi, secara teori kita memang bisa belajar, dalam pelaksanaannya yang sangat sulit. Banyak juga yang bilang, “ah gampang kalau bicara tuh, kamu sih ga pernah mengalaminya”, Mungkin orang yang berbicara seperti ini salah satu contoh orang yang dalam pelaksanaannya mengalami kesulitan sehingga secara mental menjadi drop, padahal secara logika dia tau bahwa harus bisa menerima.
Lalu pertanyaannya, sebegitu sulitkah kita belajar mengikhlaskan sesuatu?,
Menurut saya pribadi ada tiga faktor besar yang kita alami, mengapa kita sulit sekali belajar ikhlas, mungkin masih banyak lagi faktor yang lainnya yang
1.       Sabar
Ya, sabar dan ikhlas itu merupakan satu paket yang harus kita pelajari selama hidup ini, kita tidak akan bisa ikhlas bila tidak barengi dengan sifat sabar. Kesulitan yang kita alami ketika kita belajar mengikhlaskan sesuatu yang yang hilang atau pergi, karena kita tidak sabar dalam menjalani proses pembelajarannya. Ya, itu yang harus kita ingat belajar apapun pasti membutuhkan proses, proses itu membutuhkan waktu, untuk waktu bisa lama, bisa juga sebentar tergantung diri kita sendiri seberapa serius dan sering kita belajarnya. Kita analogikan  seperti ini belajar matematika menurut sebagian orang sangat sulit dan rumit lagi, tetapi sebagian lagi sangat mudah asalkan kita ada kemauan dan keseriusan belajarnya. Jadi intinya tidak ada hal yang sulit ketika kita ada kemauan untuk belajar, sama hal nya dengan belajar untuk ikhlas, kita sendirilah yang membuat proses pembelajaran itu menjadi rumit. So, bersabarlah dalam belajar.
2.       Semua yang kita miliki hanya titipan
Yang harus kita sadari bahwa seluruh yang kita punya didunia ini semua hanya titipan semata, kekayaan, keluarga, suami, istri, anak, bahkan nyawa kita pun hanya titipan yang harus rela kita sang pemilik mengambilnya, tugas kita hanya menjaga, merawat, dan mempersiapkannya selagi Allah belum mengambilnya dari kita. Ketika merasa semua ini hanya titipan semata pasti kita akan ikhlas apabila sang pemilik mengambilnya kapanpun waktunya dan bagaimanapun caranya. Jadi, sadarilah semua ini milik Allah dan percayalah ketika Allah mengambil sesuatu dari kita, Allah pasti menggantinya dengan yang lebih baik.
3.       Terlalu berharap pada manusia
Mungkin ini yang sering kita lakukan termasuk saya sendiri sehingga kita sulit sekali ikhlas ketika ada sesuatu yang hilang atau pergi dari kita. Ya, terlalu berharap pada manusia itu tidak akan membuat kita bahagia malahan kita akan sering mengalami kecewa, seperti yang diucapkan oleh Sahabat Rasullullah SAW, Ali Bin Abi Thalib, “Aku pernah merasakan semua kepahitan di dunia dan yang paling pahit adalah berharap pada manusia”.
Seorang Ali pun merasakan kekecewaan ketika berharap pada manusia apalagi kita?, harus kita ingat bahwa kepada Allah kita berharap, kepada Allah lah kita meminta pertolongan, karena janji Allah itu tidak akan pernah salah.
Kita contohkan orang yang pacaran telah 10 tahun lalu tiba-tiba putus, apa yang terjadi?, sedih, menangis, kecewa, putus asa, dan masih banyak lagi, kenapa itu terjadi?, Karena kita terlalu berharap kepada manusia yaitu pacar kita, oke secara manusiawi pasti akan merasakan hal itu ketika ditinggalkan orang kita sayangi, itu hanya dilihat dari satu sudut saja, tetapi coba lihat dari sudut yang lain mungkin dia bukan jodoh kita, mungkin Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik, mungkin Allah menyuruh kita menjadi pribadi yang lebih baik, mungkin Allah telah memberi teguran kepada kita, mengapa memberi teguran?. Ya, Allah akan berikan kekecewaan yang pahit ketika kita berharap pada manusia, supaya kita sadar bahwa yang harus kita gantungkan harapan hanya Allah SWT.

Mengikhlaskan sesuatu yang hilang dari kita memang menyedihkan dan menyakitkan kalau kita hanya melihatnya hanya dari satu sudut pandang saja, buka logika kita, lihat setiaplah kejadian, permasalahan dari bebagai  sudut pandang selalu ada hal baru dan hikmah ketika melihat sebuah kejadian dari sisi yang positif. So, teruslah belajar IKHLAS dengan penuh KESABARAN karena kita tidak tau mana yang terbaik yang Allah berikan kepada kita. Libatkan Allah dalam setiap kejadian yang kita alami, ingat hidup dan mati kita hanya untuk Allah semata. Mari Perbaiki diri, semoga Allah selalu memberikan kemudahan pada kita untuk selalu belajar IKHLAS.


“Orang yang benar-benar ikhlas adalah orang yang tidak berubah sikap atau perasaannya ketika amal baiknya dipuji, ditolak, atau dimaki”. (Ust. DR. Muhammad Arifin Badri, Lc. MA)

Semoga memberi sedikit movitasi, kita sama-sama belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik.....
Semoga bermanfaat.....
  


Jangan Pernah Sampai Kehilangan Semangat


Kita Belum miskin, Selagi Belum Kehilangan Semangat!

Untuk tulisan yang selanjutnya, saya ingin menulis sebuah realita yang terjadi dikehidupan ini banyak sekali yang kejadian-kejadian yang membuat kita miris mendengar dan melihatnya, seperti terjadi pembunuhan, korupsi, pembegalan, bunuh diri, dan teroris seperti akhir-akhir ini yang sedang seluruh tv swasta tayangkan.
Saya pernah membaca artikel bahwa menurut WHO, setiap detik sekitar 40 orang melakukan bunuh diri di seluruh dunia. Tekanan karir dan pendidikan menjadi alasan terbesar di negara industri. Adapun di negara berkembang, kemiskinan yang menjadi faktor utama. Bisa kita bayangkan berapa orang yang bunuh diri dalam waktu satu jam? Atau satu hari? Atau satu minggu? Mungkin ada jutaan nyawa yang melayang. Seperti yang WHO catat bahwa kemiskinan menjadi salah satu penyebab angka bunuh diri sangat tinggi. Ya, Kemiskinan.

Tadi malam saya tidur sangat larut, jadi agak susah bangun pagi-pagi. Kepala terasa berat, mata mengantuk. Setelah sholat subuh, ingin rasanya menjatuhkan diri ke kasur lagi. Zzz...zzz...tidur nyenyak sampai dzuhur nanti. Ah, nikmatnyaa! Tetapi tentu tidak bisa. Dan tidak boleh. Ada banyak hal harus dilakukan untuk memperbanyak amal soleh, dan tidur hanya akan menghilangkan kesempatan baik itu. Saya harus bangun! Bangun! Bangun! Jemput kesempatan dan rezeki yang Allah siap tebarkan hari ini!
Hmm...Seperti sulitnya membuka mata di pagi hari, begitu juga memulai sesuatu yang baru. Anda yang pernah merasakan pailit, atau mengalami fase hidup dimana anda menjerit dalam hati, “Saya sudah bangkrut!”, tentu tahu persis perasaan itu. Perasaan seseorang yang sedang berjalan cepat, namun tiba-tiba terperosok ke dalam lubang besar. Dengan susah payah, kaki dan tangan berkutat mencari pijakan dan pegangan. Hup! Akhirnya bisa juga keluar dari lubang itu. Namun sebelum melanjutkan langkah, bernafas panjang dulu. Membuat ancang-ancang agar kali ini tak akan tergelincir ke lubang yang sama di jalan berikutnya.
Setiap orang bisa bangkrut atau miskin. Pengusaha bisa down bisnisnya. Pegawai bisa mundur karirnya. Pejabat bisa turun posisinya. Orang yang banyak uang pun, pada akhirnya masuk penjara. (kalau korupsi!)
Bahkan orang yang paling makmur di dunia sekalipun, kalau Allah mau, kasih saja si jago merah, atau satu penyakit langka, harta yang demikian menggunung pun bisa habis dalam sekelebat mata. Harta hanya titipan, itu hak Allah untuk mengambilnya kapan saja. Mengapa kita harus bangga dengan sebuah titipan, dan mengapa harus sedih bila diambil kembali oleh sang Pemiliknya?
Saya memberikan Contoh orang yang berbisnis, saya memang bukan orang yang ahli dalam bisnis tapi saya pernah menyaksikan banyak bisnismen yang telah sukses tetapi dengan seketika bangkrut dan miskin, kejadian ini dulu pernah keluarga saya alami sendiri, jadi saya mengambil sudut pandang dari sini. Memang tidak mudah membangun sesuatu. Bisnis, misalnya. Seluruh waktu, tenaga, dan pikiran kita sudah terinvestasikan. Ketika mendadak pailit, rasanya bertahun-tahun perjuangan seakan sia-sia. Itu kalau kita berorientasi hasil. Sesungguhnya, sukses itu bukan hasil. Tapi cara kita mendapatkannya, apakah sudah di jalur yang benar, baik niat maupun langkah. Bila bangkrut atau miskin harta tentu akan terasa bagai kiamat bagi kita
“Yah, habis deh semuanya! Matilah aku!”
“Nggak ada yang tersisa? Dasar sial!”
“Aku sudah tak punya apa-apa lagi sekarang! Gimana dong?!”
Kita sibuk menangis, menyesali diri, berandai-andai. Bahkan ada yang tenggelam dalam kesedihan berlama-lama saat menghadapi kejatuhan. Untuk bangkit berdiri lagi, rasanya butuh sengatan listrik sejuta volt. Suliiiit sekali! Memulai dari nol, atau bahkan dari minus, seakan bangun di pagi hari dalam keadaan letih dan mengantuk! Rasanya lebih baik tidur saja, nggak bangun-bangun sekalian. Itu jalan teraman. Tetapi, di depan sana begitu banyak kewajiban sudah menunggu. Dan bangkit adalah satu-satunya pilihan, meski jauh lebih mudah diucapkan daripada dilakukan!
Teman-teman. Bila kita sedang down, merasa jatuh tertimpa tangga pula, saya pun pernah merasakannya sekarang. Tetapi ini bukan kiamat sugra, apalagi kiamat kubra. Ini hanya bagian kecil, yang hampir tak berarti, dari sebuah perjalanan kehidupan. Hidup hanya sekali, rugi bila kita habiskan waktu untuk menangis. Toh setiap orang bisa mengalaminya. Bahkan Donald Trump sekalipun, salah satu raja properti dunia, pernah bangkrut sampai empat kali (itu yang besar, belum kegagalan yang kecil-kecil). Dia bilang, “Saking banyaknya utang akibat bisnis hancur, saya pernah hidup lebih miskin dari pengemis!”
Robert Kiyosaki, yang pernah mengenalkan penduduk dunia lain pada pentingnya berbisnis, juga pernah hidup bagaikan pengemis. Ia kehilangan semua hartanya, termasuk rumah, hingga hidup di jalanan. Mandi pun terpaksa di toilet-toilet umum yang gratisan.
Tanpa disadari, sebetulnya tak ada orang yang benar-benar bangkrut meski kita menganggapnya begitu. Oke, binis kita hancur, usaha kita gagal. Banyak hutang akibat modal yang tak terkembalikan. Tetapi kita masih bisa bernapas, kan? Itulah rahmat Allah SWT. Bahkan jikapun kita bukan orang beriman, Allah tak akan berhenti memberikan karunia-Nya. Kita nggak perlu sampai mengemis di jalan, tidur beratap langit beralas koran. Kita masih bisa makan, masih punya tempat tinggal, dan yang terpenting masih punya harapan. Karena kita percaya: “Kehilangan uang itu kehilangan yang banyak. Kehilangan teman, kehilangan lebih banyak. Kehilangan semangat, barulah kehilangan segala-galanya!”
Di usia 40, binis suku cadang pailit, terpaksa Honda pinjam uang dari ayahnya hasil menjual sawah. Sekarang kita tahu berapa juta kendaraan bermerk Honda merajai jalanan!
Di usia 70, Sanders sudah pensiun dari jabatan kolonelnya, menjajakan resep ayam goreng dan ditolak oleh 99 restoran. Sekarang kita tahu berapa ribu outlet KFC berdiri di tiap sudut kota!
Di usia 50, bisnisnya bangkrut semua dan dijebloskan ke penjara akibat hutang tak terbayar. Di penjara dia melukis, lalu jadi pelukis terkenal di dunia (saya lupa namanya, saya baca kisahnya dalam sebuah TOEFL reading test).
Dan tentu daftarnya masih panjang....Yuk sama-sama cari di Google, biografi orang-orang sukses yang di dalamnya bisa dipastikan ada kisah tentang saat-saat jatuh (downfall). Pesannya pastilah sederhana, “Tak masalah anda jatuh, bahkan sampai benar-benar terpuruk sekalipun, yang terpenting anda cepat bangun!” Allah SWT menilai kita bukan dari hasil. Tetapi dari usaha. Seberapa keras, seberapa ikhlas.
Mungkin kita sedih bukan karena kehilangan harta yang sudah susah payah dicari, tetapi karena takut akan banyak hal. Takut tidak membahagiakan anak istri, takut tidak dihormati lagi, takut orang-orang berhenti mencintai. Semua rasa takut itu berasal dari prasangka. Padahal sebagai muslim, kita sudah di-warning untuk tidak mengikuti prasangka, sebab sebagiannya adalah dosa. Dosa karena mengukir dendam dan mengikis rasa syukur.
Kita bisa saja kehilangan semua harta, pencapaian, gelar, jabatan. Namun sesungguhnya, kita belum bisa dikatakan bangkrut jika belum kehilangan satu hal. Yaitu semangat! Semangat untuk bangkit. Bangkit dan mengejar sukses. Sukses bukan dalam arti menumpuk harta, tapi menimbun amal soleh.
Ya! Orang yang bangkrut, bukan dia yang kehilangan materi. Tetapi dia yang kehilangan semangat untuk berbuat baik di muka bumi. Seperti cerita yang diambil dari hadits berikut ini:
Suatu ketika Rasulullah SAW bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Bangkrut adalah orang yang kehilangan harta dan seluruh miliknya.” “Bukan,” kata Rasulullah. “Orang yang bangkrut ialah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala dari puasa, zakat dan haji, tetapi ketika pahala-pahala itu ditimbang, datanglah orang mengadu, “Ya Allah dahulu orang ini pernah menuduhku berbuat sesuatu padahal aku tidak pernah melakukannya”. Allah pun menyuruhnya membayar orang yang mengadu tersebut dengan amal salehnya. Kemudian datang lagi orang lain mengadu, “Ya Allah hakku pernah diambil dengan sewenang-wenang.” Allah menyuruh dia membayar lagi orang yang mengadu itu. Setelah itu datang lagi orang-orang yang mengadu, sampai seluruh pahala sholat, haji dan puasanya habis dipakai untuk membayar orang yang haknya pernah dirampas, yang hatinya pernah disakiti, yang nama baiknya pernah dicemar tanpa alasan yang jelas. Semua amal sholehnya dia bayarkan sampai tidak ada lagi pahala yang tersisa. Tetapi orang yang mengadu ternyata masih datang juga. Maka Allah memutuskan agar kejahatan orang yang mengadu dipindahkan kepadanya. “Itulah orang yang bangkrut di hari kiamat,” kata Rasulullah. “Yaitu orang yang rajin beribadah tetapi tidak memiliki akhlak yang baik. Dia merampas hak orang lain dan menyakiti hati mereka.”
Jadi Sahabat, miskin harta bukan akhir segalanya. Melainkan saat yang tepat untuk merenung dan membuat ancang-ancang. “Oke, sekarang saya sudah tak punya uang untuk sedekah, apa yang saya bisa lakukan untuk menambah amal baik?” “Oke, apa yang akan saya lakukan setelah ini?” “Apa rencana saya untuk memulai?”
Kita akan tahu, betapa banyak jalan keluar. Betapa besar pertolongan Allah swt ketika tak ada hal lain yang bisa dijadikan sandaran.
Dengan doa dan semangat, harta bisa kembali dicari. Yuk, katakan YA pada kemiskinan harta, katakan TIDAK pada kemiskinan hati! Insha Allah, kita akan jadi orang kaya sejati!
Terima kasih.... semoga bermanfaat bagi kita semua...Aamiin


Selasa, 19 Januari 2016

Mengapa Mendaki Gunung?


Untuk tulisan saya yang kedua, saya masih ingin menulis tentang gunung dan pendakian, kalau tulisan saya yang pertama tentang memaknai mendaki bagi kehidupan dan mengambil sudut contoh dari kisah nyata ekspedisi everest 1996 yang di filmkan, kali ini saya mencoba sedikit memberi pandangan tentang banyaknya pertanyaan yang terdengar ketika kita hendak berangkat melakukan pendakian. “MENGAPA KALIAN MENDAKI GUNUNG?” Ya, mungkin ini pertanyaan yang sudah menjadi klise atau hal lumrah yang kita dengar ketika mau mendaki, pertanyaan yang terlontar dari temen-temen,sahabat atau keluarga pasti pernah menanyakan pertanyaan ini pada kita, dan jawaban kita pasti akan bermacam-macam alasannya tergantung pemahaman, ego dan tujuan kita masing-masing ketika mendaki.
Saya ambil lagi satu contoh di film Everest karena di film ini banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik dan diterapkan ketika mendaki ataupun dikehidupan sehari-hari, ada muncul pertanyaan ini yang sama yaitu Why do you climb everest?, pertanyaan yang dilontarkan oleh Jon Krakauer pada rekan-rekan mendakinya, mengapa kalian mendaki everest? Dan jawaban dari rekannya pun berbagai macam seperti jawaban dari Yasuko Namba alasan dia mendaki everest karena ingin melengkapi seven summit, dia telah mendaki 6 gunung didunia everest adalah yang 7, berbeda lagi jawaban yang dilontarkan oleh Doug Hansen yang ingin memberikan inspirasi kepada anak-anak yang telah membantunya memberikan uang untuk pendakian everest dan dia mengucapkan saya bisa mendaki everest serta melihat keindahan yang mustahil bagi orang yang biasa. Dua jawaban yang menurut saya itu ego masing-masing, sementara rekannya yang lain hanya terdiam saja seperti Jon taske, Harold, tetapi saya yakin mereka punya pemahaman yang berbeda-beda tentang pertanyaan yang diontarkan oleh Jon Krakauer.

 Dan saya sendiri pun pernah mengalaminya ketika hendak pergi mendaki ke Gunung Semeru kala itu keluarga saya ada yang bertanya “Nanaon ka gunung wae aya manfaatna kitu?, mening di bumi we enakeun” ( apa-apaan ke gunung saja ada manfaatnya gitu?, lebih baik di rumah saja enak ), dan saya pun menjawab mungkin hampir sama dengan jawaban Doug Hansen ingin melihat keindahan yang “berbeda” tapi saya menambahkan bahwa mendaki gunung itu adalah sebuah “proses” bukan “hasil”, karena menurut saya mendaki itu bukan ketika kita sedang berada dipuncak tapi bagaimana kita mencapai puncak itu, perjalanan menuju puncaknya yang memberikan banyak pembelajaran dan proses seperti melewati bukit-bukit terjal yang menguras fisik ,turunan curam yang membuat jantung berdebar, tanjakan yang membuat mental menurun, trek berbatu, berpasir, cuaca yang berubah-ubah panas, dingin, badai, sebuah proses perjalanan yang menurut saya tidak semua orang bisa melewatinya, hanya orang terkuatlah yang bisa melewati perjalanan yang begitu menguras semua yang ada pada tubuh kita baik fisik maupun mental. Adapun sebuah teori mengatakan “ditahap akhir menjelang titik sukses, orang akan menghadapi tantangan yang luar biasa sulit”. Kita pasti mengalaminya ketika hendak mencapai puncak akan ada rintangan yang luar biasa sulit untuk melihat sesuatu yang indah. Selain itu saya berpendapat dengan mendaki kita bisa belajar untuk diri sendiri seperti apa sifat asli kita, karena banyak yang mengatakan kalau ingin melihat sifat asli seseorang pergilah ke gunung disana sifat asli seseorang termasuk kita sendiri akan terlihat karena ketika mendaki kita akan menjumpai banyak hal seperti, bertemu dengan orang banyak walaupun pertama kali bertemu ketika digunung seperti sudah kenal bertahun-tahun, saling membantu, saling memberi, kebersamaan, tidak ada lagi perbedaan suku, budaya, agama, ras, semuanya saling menghormati dan menghargai, menurut saya itu mungkin manfaat terbesar yang kita dapatkan ketika mendaki yang tidak bisa dapatkan dari bangku sekolah sekalipun. Ini hanya salah satu pendapat jawaban dari saya pribadi mungkin banyak lagi jawaban yang lebih baik dari teman-teman pendaki dan memang seperti itu yang dapatkan ketika mendaki banyak ilmu yang baru yang bisa saya terapkan dikehidupan sehari-hari. So, kira-kira apa jawaban yang benar untuk yang bertanya “MENGAPA KALIAN MENDAKI GUNUNG?”, mungkin tidak ada yang benar atas pertanyaan itu karena banyak versi jawaban dari tiap orang atau yang melakukan pendakian tergantung pemahaman dan tujuannya mendaki gunung. Mungkin jawaban yang agak tepat ketika ada orang yang bertanya pada kita “MENGAPA KALIAN MENDAKI GUNUNG?”. PERGILAH KEGUNUNG DAN TEMUKAN SENDIRI JAWABANNYA. Seperti salah satu quotes mengatakan “pendaki yang sampai ke puncak, hanyalah yang tangguh, pejuang yang sampai kesuksesan, hanyalah yang sabar, dan kita diberi pilihan menjadi manusia yang mudah rapuh oleh tantangan, atau justru menghebat seiring hebatnya rintangan, percayalah, badai selalu menyisakan pohon-pohon yang terkuat”. Terima kasih...... Semoga memberi inspirasi dan motivasi.......

Memaknai mendaki Gunung terhadap Kehidupan

Untuk pertama kalinya saya menulis di blog, entah mengapa setelah saya menonton film Everest pada akhir tahun 2015 saya ingin sekali menulis tentang memaknai mendaki gunung untuk kehidupan. Jadi saya putuskan untuk membuat blog padahal sebelumnya saya bukan orang yang suka menulis tetapi semoga tulisan yang saya tulis bisa bermanfaat untuk semuanya.

“Selalu ada kompetisi antara manusia dan gunung, tetapi gununglah yang selalu jadi pemenangnya” (Anatoli boukreev).
Sebuah potongan percapakan di film Everest antara Anatoli dan Scott Fischer. Ya, Kata Anatoli Bookreev ini yang membuat saya berpikir ulang tentang memaknai mendaki gunung, tapi memang seperti itu adanya manusia selalu ingin berkompetisi dengan apapun itu, termasuk dengan gunung sendiri, bagi orang yang mencintai alam bebas pasti menjadi sebuah kepuasan apabila mencapai sesuatu yang buat orang lain itu mustahil, seperti berdiri dengan gagah di ketinggian beribu-ribu MDPL, ya berada di puncak gunung pasti akan menimbulkan kepuasan, kebahagian, dan mungkin akan menimbulkan sedikit kesombongan pada diri kita karena bisa mencapai puncak.
Mendaki gunung sekarang memang sedang menjadi primadona semua kalangan baik tua muda, laki-laki, perempuan, pendaki senior, junior, pemula bahkan anak-anak yang baru tau gunungpun hanya dari foto atau cerita temannya ikut berbondong-bondong pergi ke gunung dengan tujuan mencapai puncak.
Dulu tahun 2006 ketika saya masih duduk dikelas 1 SMA untuk pertama kalinya saya mendaki gunung, saya diajak mendaki gunung oleh kakak saya yang bisa dikatakan senior karena hampur seluruh gunung sudah di daki kecuali puncak Cartenz yang belum kakak saya taklukan. dengan pengetahuan yang seadanya tentang pendakian saya dengan percaya diri ikut padahal pada saat itu gunung yang mau saya daki adalah gunung Ceremai. Untuk pemula seperti saya yang belum sama sekali naik gunung, pada saat itu gunung ceremai dengan ketinggian 3076mdpl mungkin terlalu berat, tapi dalam hati saya percaya asal fisik kuat saya bisa mencapai puncak, pada saat itu mungkin pemikiran saya masih dipengaruhi ego yang sangat tinggi maklum masih SMA masih mencari jatidiri hehe. Padahal seluruh rombongan semuanya pernah mendaki gunung hanya saya satu-satunya yang belum pernah sekalipun mendaki gunung.
Dan ketika pelaksanaannya, saya satu-satunya orang dari kelompok kami yang tidak sampai ke puncak, perjalanan saya hanya sampai pos 5, saya yang percaya dirinya bisa sampai ke puncak hanya dengan fisik yang kuat dalam pikiran saya, ternyata kondisi fisik saya paling drop ketika di gunung padahal saya waktu itu yang paling muda.
Setelah selesai pendakian pertama itu saya baru berpikir mendaki gunung tidak semudah dibayangkan sangat sulit dan berat tidak bisa hanya mengandalkan fisik semata tapi juga mental, karena mendaki gunung itu sebuah proses yang harus dilalui selangkah demi selangkah untuk mencapai puncak, seperti slogan para pendaki “Tunduk ketika naik, Tegak ketika turun, Bersujud ketika dipuncak”, dan hal yang paling penting adalah tingkah laku kita selama di gunung, seperti percakapan yang diungkapankan oleh Scott Fischer di film everest mendaki gunung itu butuh attitude bukan altitude. Ketika semua pendaki memperlakukan gunung dengan hormat rasa-rasanya alam pun akan “aman” dengan pendaki tapi harus di ingat kata “aman” di gunung sifatnya hanya “relatif”, seperti yang Rob hall katakan Gunung membuat cuacanya sendiri. Bisa kita bayangankan seorang pendaki se-profesional Rob Hall, Anatoli, Scott Fischer yang gear-gearnya pun sangat kumplit masih harus memperhitungkan apa yang akan terjadi digunung. Lalu pertanyaannya kita yang masih seperti ini masih hanya mengandalkan fisik dan ego  serta peralatan yang seadanya, apa yang akan terjadi bila gunung merubah cuacanya sendiri?
Berbicara ego, mengulang kata yang diucapkan oleh Anatoli kepada Scott Fischer selalu ada kompetisi antara manusia dan gunung, tetapi gununglah yang selalu menjadi pemenang, kita bisa memaknai maksud dari perkataan Anatoli bahwa ketika kita tidak bisa mengendalikan ego kita bersiaplah menjadi pihak yang “kalah”. Seperti kejadian di film Everest ada dua ego besar yang terlihat pertama, ego Doug Hansen yang harus sampai ke puncak padahal dia sudah sangat kelelahan dan sudah melewati batas waktu yang telah ditentukan. Yang kedua ego dari Scott Fischer yang sangat memaksakan untuk sampai puncak pada tanggal 10 Mei. Kedua nya memang mencapai puncak yang diinginkan tapi bisa dilihat dari ego mereka hal terburuk terjadi yaitu mereka berdua meninggal saat perjalanan turun dari puncak padahal saya yakin mereka berdua merasakan bahwa tubuhnya sudah tidak bisa mencapai puncak pada hari itu. Kejadian everest 1996 yang menimpa scott fischer dan doug hansen hanya salah contoh ketika kita tidak mengendalikan ego diri sendiri. Satu lagi ego yang terjadi di film everest yaitu Jon Krakauer dilihat dari karakternya orang ini hanya mementingkan dirinya sendiri, padahal ketika melakukan pendakian bersama tim seluruh anggota harus bekerja sama dan saling membantu. Ego yang ditunjujkan oleh Jon yang pertama ketika dia meminta Mike untuk bertukar posisi dengan alasan oksigennya akan habis ketika hendak melewati Hillary step padahal dibelakangnya masih banyak yang mengantri, seorang yasuko namba yang seorang perempuanpun rela mengantri. Ego yang kedua dari Jon ketika turun melewati Balcony disana dia melihat Beck weather duduk kedinginan tetapi dia hanya bertanya kondisinya saja padahal Beck sudah menjawab bahwa dia sedang membeku alih-alih menolongnya dia malah memberi tau bahwa dibelakangnya ada Mike dan Neal setelah itu dia melanjutkan perjalanan, bisa dilihat ego Jon yang mementingkan keselamatan dirinya sendiri padahal Beck itu satu tim dengan dia mungkin kalau yang bertemu dengan Beck itu Anatoli pasti akan dibantu. Ego terakhir yang dilakukan oleh Jon ketika dia diminta pertolongan oleh Anatoli untuk membantu mengevakuasi tim  yang masih terdampar terkena badai, jon malah menolak dengan alasan matanya sudah tidak bisa melihat anatoli pergi sendiri menerjang badai dan Jon pun melanjutkan tidurnya kembali. Itu sebagian contoh bahwa ketika di gunung keegoisan kita bisa berdampak buruk baik untuk diri sendiri  maupun orang lain.
Berbicara Anatoli dia salah satu pendaki paling tangguh di everest 1996 sendirian menerjang badai mengevakuasi teman-teman yang masih terdampar di ketinggian 8000 an padahal dia baru saja mencapai everest tanpa bantuan tambahan oksigen itu suatu hal kemanuasian yang luar biasa. Ya Anatoli mungkin bisa dijadikan panutan buat pendakian selain juga Rob Hall, karena mereka berdua rela berkorban untuk menyelamatkan rekan-rekannya yang terkena badai, Ya anatoli berhasil membawa 3 rekannya sampai ke camp 4, dan dia naik lagi untuk menjemput Scott namun telah meninggal itu sikap yang diperlukan ketika digunung saling memiliki. Sama halnya yang dilakukan oleh Rob Hall sebagai Leader dia mengutamakan keselamatan rekannya daripada dirinya sendiri, seperti membantu Doug yang tengah berjalan seperti robot untuk mencapai puncak padahal dia tau akan terjadi sesuatu apabila terus ke puncak, tetapi untuk membantu doug yang ingin sampai ke puncak karena menurut doug ini kesempatan terakhirnya ke puncak everest dia membantunya, bukan itu saja Rob juga rela menunggu Doug yang sudah tidak bisa bergerak lagi padahal dia bisa turun sendiri agar dirinya sendiri selamat tetapi dia memilih membantu doug untuk terus bergerak, salah satu sikap seorang pemimpin yang dimiliki Rob Hall rela berkorban untuk orang lain hingga akhirnya Rob sendiri pun meninggal karena kelelahan,kedinginan dan kehabisan oksigen. Satu lagi sikap saling memiliki dan membantu ditunjukan pada film everest yaitu oleh Andi Harold dia adalah rekan dari Rob, harold rela naik lagi ke untuk mengambil oksigen di puncak selatan membantu Rob, padahal dia sendiri tau bahwa untuk puncak selatan membutuhkan kurang lebih 90 menit tapi dengan sisa oksigen yang ada dia melakukannya karena tidak ingin rob dan Doug menderita, walaupun pada akhirnya Harold pun meninggal karena menderita Hypotermia dan terjatuh ketika sedang membuka jaketnya.
Ada yang dilupakan oleh tim Rob maupun Tim Scott ketika hendak melakukan pendakian kedua tim tidak melakukan doa bersama, mungkin hanya mengikuti ritual dari adat setempat tetapi tidak melakukan doa bersama anggota tim baik ketika berangkat dari base camp maupun ketika hendak summit. Padahal berdoa merupakan aspek paling penting ketika hendak melakukan kegiatan apalagi kegiatannya menentang maut. Mungkin ini salah yang mengakibatkan badai buruk menerjang tidak meminta pertolongan dari yang maha Kuasa.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita bisa bersikap seperti Anatoli, Rob atau Harold ketika melakukan pendakian?? Ketika teman kita mengalami kesusahan disaat pendakian?? Atau sikap kita seperti Jon yang hanya mementingkan diri sendiri??
Mari kaji kembali tujuan kita untuk mendaki gunung apa hanya untuk sampai puncak lalu foto selfie setelah di share di media sosial mengharap komen-komen dari teman yang lain? Atau hanya untuk kesenangan semata? Atau ingin mencintai gunung seperti yang dilakukan oleh Scott Fischer yang mendaki untuk kegiatan amal dengan membersihkan sampah digunung?? Atau hanya untuk menikmati keindahan gunung yang telah Allah ciptakan untuk kita seperti halnya Soe hok gie?
Tetapi apapun tujuan kita mendaki yang paling diutamakan yaitu keselamatan baik untuk diri sendiri maupun untuk teman yang lainnya apalagi kalau kita sebagai Leader. seperti yang dikatakan Anatoli ketika sedang memimpin tim ekspedisi everest indonesia tahun 1997, bahwa ekspedisi ini dikatakan berhasil ketika seluruh anggota mencapai puncak dan kembali lagi ke base camp dengan bahagia. Seperti teman-teman pendaki selalu bilang Puncak itu Bonus kembali ke rumah itu harus.
 Ya banyak sekali pelajaran yang didapat dari film everest memaknai tentang mendaki gunung yang berhubungan dengan kehidupan. Ada beberepa poin penting yang menurut saya perhatikan ketika mendaki gunung
1.       Mengendalikan Ego
Ya mengendalikan ego adalah hal yang paling ketika mendaki gunung, ketika tidak bisa mengendalikan ego diri sendiri kejadian buruk pasti akan terjadi karena ketika ego ikut mempengaruhi keputusan logikapun akan terabaikan itu yang dialami oleh Doug dan Scott, sama halnya dengan dikehidupan  ketika ego itu bisa kita kendalikan tidak mudah terpengaruh oleh hal yang buruk, berpikir panjang pasti sesuatu yang baik akan menghampiri kita.
2.       Komunikasi
Komunikasi merupakan faktor penting dalam perjalanan pendakian apalagi dalam tim ekspedisi karena jarak anggota bisa mencapai ratusan meter, mungkin faktor komunikasi ini yang menyebabkan kondisi fisik Scott Fischer ambruk ketika dia harus kembali ke base camp membawa salah satu rekannya yang sakit kalau ada komunkasi melalui radio scott tidak harus kembali ke base camp. Kita bisa hubungkan dengan kehidupan ya, dalam kehidupan komunikasi adalah faktor penting terhadap kesuksesan, bagaimana kita bisa sukses tanpa adanya komunikasi? Salah satu contohnya Sebagai pimpinan harus berkomunikasi dengan bawahannya agar suatu perencaan yang dibuat menjadi lancar dan sukses.
3.       Kebersamaan, saling membantu dan rasa saling memiliki
Dalam film everest mungkin ini yang dilupakan oleh pemimpin pendakian Khususnya dari tim Rob, kurang adanya kebersamaan, saling membantu dan rasa saling memiliki bisa dilihat selama pendakian semua hanya tertuju untuk mencapai ke puncak tanpa menanyakan kondisi teman yang lainnya mungkin hanya Rob yang punya rasa saling memiliki dan membantu. Kalau tim punya kebersamaan yang kuat mungkin Jon akan membantu Beck yang sedang membeku karena sudah merasa saling memiliki walaupun saya tidak yakin jon akan melakukan itu dilihat dari karakternya. Jadi ini merupakan salah faktor penting dalam pendakian sama halnya dengan dikehidupan sekaya apapun kita seterkenal apapun kita kalalu tidak mempunyai sifat saling membantu, saling memiliki, rasa kebersamaan kita akan akan kesepian di dunia walaupun dunia semakin canggih dengan teknologi bersosialiasi dengan orang tetap poin paling utama dalam kebahagian hidup.
4.       Tanggung jawab
Sikap ini harus  dimiliki oleh setiap orang ketika melakukan pendakian apalagi kalau seorang pemimpin pendakian. Rob mungkin akan meninggalkan Doug yang sedang merintih kalau dia tidak sikap tanggung jawab, karena dia pemimpin dia harus menjamin keselamatan seluruh anggota timnya walaupun itu berbahaya untuk dirinya sendiri. Ini yang dilakukan oleh Rob dia seorang pemimpin yang bertanggung jawab.
Kita hubungkan kembali dengan kehidupan sebenarnya sikap ini yang kurang kita perhatikan dalam kehidupan, padahal segala sesuatu yang kita lakukan harus kita pertanggung jawabkan, kita tidak akan menjadi manusia yang baik ketika kita tidak bertanggung jawab dalam apapun, semoga kita bisa lebih bertanggung jawab lagi.
5.       Doa
Ada suatu istilah Mindset is Doa, ya doa merupakan paling dalam setiap kegiatan ini yang tidak dilakukan oleh ekspedisi everest 1996 sehingga terjadi kejadian badai yang dahsyat, mungkin dengan berdoa meminta pertolongan Tuhan kejadian bisa diminimalisir.
Sama halnya dengan kehidupan pribadi kita hal yang harus kita lakukan selama kita hidup yaitu berdoa dan berusaha, keduanya harus dilakukan dengan sama besar agar apa yang kita inginkan bisa tercapai, seperti salah satu Firman Allah : “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kelurusan.” (Al-Baqarah: 186)
Doa merupakan aspek yang paling penting dalam kehidupan untuk mencapai keingiinan dan kesuksesan yang kita inginkan.

Jadi kesimpulannya cara memaknai mendaki gunung terhadap kehidupan, ketika kita mempunyai ke 5 sikap itu dan bisa mengendalikannya dengan baik sesuai dengan porsinya masing-masing, Insha Allah apapun kegiatan, keinginan kita pasti akan dimudahkan. Intinya milikilah sikap itu maka kita akan sukses dan bahagia baik ketika kita melakukan pendakian ataupun ketika kita menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari.
Mungkin ini yang saya bisa share dalam tulisan pertama saya semoga bisa menjadi inspirasi dan motivasi buat kita semua untuk terus memperbaiki diri menjadi lebih baik. Mohon maaf apabila banyak kesalahan dalam penulisannya kritikan dan saran saya terima dari teman-teman semua.

Terima kasih....

Semoga Bermanfaat...